Sabtu, 04 April 2015

Udara #2

Assalamualaikum
Part_5

Beberapa hal saya juga curhat pada A’ba dan ia marah karena keputusan ku yang sangat bodoh yang sangat kekanak-kanakan. Kenapa seperti anak kecil?, masa hanya dibilangi perkataan begitu langsung niat tinggalkan lab, katanya. Selama ini a'ba tahu persis kalau saya betapa bahagianya hidup di lab. Lab sudah menjadi rumah kedua buat saya. Waktu saya lebih lama di lab jika dibandingkan di kos sendiri. Maafkan saya. Saya hanya takut dengan kata “tidak tahu malu” ketika saya mencoba membuka lembaran baru dan lembaran lama harus benar-benar dibakar. Banyak saran yang menghampiri saya dan A’ba mengatakan anggap saja tidak terjadi apa-apa dan lupakan semuanya beraktivitas seolah tidak ada yang pernah terjadi. Bukan hanya A’ba yang menawarkan solusi itu tetapi juga kakak-kakak yang sudah benar-benar menjad kakak yang nyata buat saya. Terima kasih masukan dari kakak-kakak yang terbaik dari A’ba yang sangat saya sayangi. Terima kasih.
Namun, perasaan malu tak juga pergi menjauh, rasa malu itu masih sangat senang melekat pada sebongkah daging yang mereka sebut hati. Kalimat yang terngiang-ngiang hanyalah
“kehadiran saya di lab, benar-benar tidak berarti apa-apa, saya hanya parasite untuk aktivitas mereka.”
“saya malu, bagaimana tidak karena saya telah berkata sesuatu yang tak seharusnya, saya malu”
“bagaimana, kalau suatu saat mereka akan mengungkit itu?, mengungkit kalimat yang pernah saya katakan?”
“mau saya taruh di mana wajah saya?, sekali lagi saya malu, sangat malu”
Hari Selasa, tanggal 10 Februari 2015, hari pertama saya menginjakkan kaki di kampus dalam rangka mengurus KRS semester baru.
Tahukah pertama kali tiba di kampus, mataku melirik ke lantai 3, hati saya bertanya banyak hal.
“bagaimana rumahku di atas sana?”
“ada apa gerangan di atas?”
“apa kabarnya mereka?”
“apa keluarga-keluargaku sehat-sehat saja di atas sana?”
“tak adakah yang mencariku?”
Ah pertanyaan terakhir membuatku terhentak dari lamunan di parkiran. Apa pentingnya saya?.
Saya ke kampus dengan pikiran yang sama sekali belum niat naik ke lab. Walau seorang kakak sudah mengajak saya menginjakkan kaki di lantai 3 itu, keputusanku masih juga belum berubah dan keesokan harinya saya di kampus mulai pukul 8 menunggu tanda tangan PA. hari itu saya memberanikan diri naik ke lab dengan menghilangkan rasa malu. Membuang jauh-jauh rasa malu dan berharap tidak ada yang membahas hal itu. berharap tak ada orang yang membahas hal itu.
“Ya Allah jangan sampai ada yang membahas kalimat bodoh yang pernah saya ucapkan”
“Ya Allah saya buang rasa malu ini demi cinta dan rasa sayangku pada tempat yang bisa membuat saya benar-benar bisa bernafas dengan leganya”
“Ya Allah harus seperti apa saya ketika ada orang yang membahasnya?”
Saya selalu berdo’a semoga mereka semua lupa atau kalau tidak bisa lupa maka sembunykanlah. Pura-puralah tidak pernah tahu dan tidak pernah mendengar perkataan itu.
Hari-hariku berjalan dengan lancar dan tidak ada yang membahas hal demikian, saya mulai merasa tenang dan senang. Walau saya masih tetap waspada pada orang yang benar-benar sudah sangat saya benci. (Astagfirullah). Tapi benar hatiku benar-benar tidak dapat berpura-pura baik. Semua yang saya katakan selalu salah dan nyaris tidak pernah benar. Suaranya, sangat terdengar bising di telinga saya. Dan 2 minggu, hanya dua minggu saya baik-baik saja di rumah saya itu (lab). Hanya dua minggu semuanya bertahan.